“Bahagia saya sederhana kok mbak. Yaa kalau ngomong capek itu ya pasti capek mbak, tapi kalau liat pasar bersih itu hati saya jadi adem,” papar laki-laki ini sambil melempar pandangannya ke seluruh sudut pasar.***
Pak Supratman, laki-laki paruh baya berumur 47
tahun. Kulit mukanya mulai berkerut. Namun semangatnya untuk menyambung hidup terus
membara. Ia seorang ayah dari dua orang anak, anak pertama berumur tujuh tahun
sedangkan yang kedua masih berumur lima bulan. Beliau yang asli Gulurejo,
Kulonprogo ini mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di
pasar Beringharjo.
Hanya sekedar untuk membeli susu dan popok bagi
anaknya, pak Supratman atau biasa dipanggil dengan sebutan pak Kuncung ini rela
nglaju (bolak-balik) Jogja-Kulonprogo
dengan motor BMW (Bebek Merah Warnanya) tua sepeninggalan ayahnya dulu. “Iki peninggalan bapak ku mbak, kalau
kena air ujan pasti macet tapi kalau semangat saya tidak akan pernah macet.”
Demikian tutur laki-laki yang hanya memiliki tinggi rata-rata itu. Walaupun
hanya tamatan SD pak Supratman tetap gigih dan semangat dalam bekerja walau
hanya dengan imbalan penghasilan sebesar Rp 600.000 per bulan. Meskipun dengan
gaji di bawah UMR, beliau tak bisa memperjuangkan nasibnya agar sama dan
sederajat dengan pegawai-pegawai yang dilindungi undang-undang tenaga kerja.
Apalagi berharap lebih. “Saya mencintai pekerjaan saya ini, saya menjalani nya
dengan cinta karena itu lebih berharga dari segalanya.” Ungkapnya dengan penuh
semangat.
Di bawah naungan satu CV (Kepala bagian kebersihan)
dia bersama 5 pekerja lainnya bertugas membersihkan Pasar Beringharjo di bagian
lantai 1 dari depan sampai belakang. Sedangkan lantai 2 dan 3 ada CV lain yang
mengurusinya, seperti itu lah sistem yang digunakan. Meskipun dilakukan setiap
hari dan nyaris tanpa hari libur, tak nampak gurat kekecewaan atau pun tidak
menerima jam kerja yang ditentukan, kecuali aura kepasrahan dan rasa syukur
menjalani pekerjaan di balik senyum pak Supratman.
Sejak umur 27 tahun pak Supratman sudah mengemban
tugas sebagai petugas kebersihan di Pasar Beringharjo, sebelumnya beliau
bekerja sebagai penambang pasir di daerahnya di Kulonprogo. Karena tubuhnya
yang sering sakit-sakitan, kemudian beliau beralih profesi sebagai petugas
kebersihan di Pasar Beringharjo sampai sekarang. Baginya hidup ini memang
dijalani saja. Sebagai rakyat kecil, kepasrahan menjalani hidup dan kepercayaan
bahwa Tuhan maha luas rejekinya membuatnya mampu tegar dan bertahan.
Seperti seekor burung yang pergi pagi dan sore pulang.
Begitulah mungkin pak Supratman mengibaratkan dirinya. Jam 05.00 pagi sebelum
Pasar Beringharjo buka, dia sudah mulai membersihkan Pasar bersama 5 rekannya
yang lain. Waktu siang hari bukan berarti waktunya pak Supratman untuk
berleha-leha, sekitar jam 12.00-an beliau harus keliling Pasar lagi untuk
membersihkan sampah-sampah yang tercecer. Dan kemudian pukul 18.00, di tengah
hiruk pikuk malam Malioboro, pak Supratman kembali membersihkan Pasar dari
segala tumpukan sampah. Suara decitan sepatu boot diatas keramik dingin Pasar dan
hentakan alat pel yang sudah usang bergabung menjadi satu irama yang kontras
dalam keheningan Pasar Beringharjo di malah hari. Itu dilakukannnya setiap hari
tanpa hari libur.
Selama menjadi petugas kebersihan banyak suka duka
yang dialami oleh pak Supratman, “Bahagia saya sederhana kok mbak. Yaa kalau
ngomong capek, itu ya pasti capek mbak. Tapi kalau liat pasar bersih itu hati
saya jadi adem,” papar laki-laki ini sambil melempar pandangannya keseluruh
sudut Pasar. “Kalau dukanya itu pas sampah mulai berserakan dimana-mana
dan orang tidak buang sampah pada tempatnya,” ungkapnya lagi.
Masih banyak pak Supratman-pak Supratman lainnya di
negeri ini. Mereka tak berdaya memperjuangkan dirinya agar bisa hidup lebih
sejahtera. Mereka juga tak bisa memperjuangkan nasibnya agar sama dan sederajat
dengan pegawai-pegawai yang dilindungi undang-undang tenaga kerja. Yaa mereka
hanyalah segelintir Supratman seorang petugas kebersihan yang berjuang dalam
sunyi bukan Joko susilo atau pun Gayus Tambunan.