Jumat, 12 April 2013

Supratman : Seorang Petugas Kebersihan yang Berjuang dalam Sunyi


 
“Bahagia saya sederhana kok mbak. Yaa kalau ngomong capek itu ya pasti capek mbak, tapi kalau liat pasar bersih itu hati saya jadi adem,” papar laki-laki ini sambil melempar pandangannya ke seluruh sudut pasar.***
Pak Supratman, laki-laki paruh baya berumur 47 tahun. Kulit mukanya mulai berkerut. Namun semangatnya untuk menyambung hidup terus membara. Ia seorang ayah dari dua orang anak, anak pertama berumur tujuh tahun sedangkan yang kedua masih berumur lima bulan. Beliau yang asli Gulurejo, Kulonprogo ini mengaku sudah 20 tahun bekerja sebagai petugas kebersihan di pasar Beringharjo.
Hanya sekedar untuk membeli susu dan popok bagi anaknya, pak Supratman atau biasa dipanggil dengan sebutan pak Kuncung ini rela nglaju (bolak-balik) Jogja-Kulonprogo dengan motor BMW (Bebek Merah Warnanya) tua sepeninggalan ayahnya dulu. “Iki peninggalan bapak ku mbak, kalau kena air ujan pasti macet tapi kalau semangat saya tidak akan pernah macet.” Demikian tutur laki-laki yang hanya memiliki tinggi rata-rata itu. Walaupun hanya tamatan SD pak Supratman tetap gigih dan semangat dalam bekerja walau hanya dengan imbalan penghasilan sebesar Rp 600.000 per bulan. Meskipun dengan gaji di bawah UMR, beliau tak bisa memperjuangkan nasibnya agar sama dan sederajat dengan pegawai-pegawai yang dilindungi undang-undang tenaga kerja. Apalagi berharap lebih. “Saya mencintai pekerjaan saya ini, saya menjalani nya dengan cinta karena itu lebih berharga dari segalanya.” Ungkapnya dengan penuh semangat.
Di bawah naungan satu CV (Kepala bagian kebersihan) dia bersama 5 pekerja lainnya bertugas membersihkan Pasar Beringharjo di bagian lantai 1 dari depan sampai belakang. Sedangkan lantai 2 dan 3 ada CV lain yang mengurusinya, seperti itu lah sistem yang digunakan. Meskipun dilakukan setiap hari dan nyaris tanpa hari libur, tak nampak gurat kekecewaan atau pun tidak menerima jam kerja yang ditentukan, kecuali aura kepasrahan dan rasa syukur menjalani pekerjaan di balik senyum pak Supratman.
Sejak umur 27 tahun pak Supratman sudah mengemban tugas sebagai petugas kebersihan di Pasar Beringharjo, sebelumnya beliau bekerja sebagai penambang pasir di daerahnya di Kulonprogo. Karena tubuhnya yang sering sakit-sakitan, kemudian beliau beralih profesi sebagai petugas kebersihan di Pasar Beringharjo sampai sekarang. Baginya hidup ini memang dijalani saja. Sebagai rakyat kecil, kepasrahan menjalani hidup dan kepercayaan bahwa Tuhan maha luas rejekinya membuatnya mampu tegar dan bertahan.
Seperti seekor burung yang pergi pagi dan sore pulang. Begitulah mungkin pak Supratman mengibaratkan dirinya. Jam 05.00 pagi sebelum Pasar Beringharjo buka, dia sudah mulai membersihkan Pasar bersama 5 rekannya yang lain. Waktu siang hari bukan berarti waktunya pak Supratman untuk berleha-leha, sekitar jam 12.00-an beliau harus keliling Pasar lagi untuk membersihkan sampah-sampah yang tercecer. Dan kemudian pukul 18.00, di tengah hiruk pikuk malam Malioboro, pak Supratman kembali membersihkan Pasar dari segala tumpukan sampah. Suara decitan sepatu boot diatas keramik dingin Pasar dan hentakan alat pel yang sudah usang bergabung menjadi satu irama yang kontras dalam keheningan Pasar Beringharjo di malah hari. Itu dilakukannnya setiap hari tanpa hari libur.
Selama menjadi petugas kebersihan banyak suka duka yang dialami oleh pak Supratman, “Bahagia saya sederhana kok mbak. Yaa kalau ngomong capek, itu ya pasti capek mbak. Tapi kalau liat pasar bersih itu hati saya jadi adem,” papar laki-laki ini sambil melempar pandangannya keseluruh sudut Pasar. “Kalau dukanya itu  pas sampah mulai berserakan dimana-mana dan orang tidak buang sampah pada tempatnya,” ungkapnya lagi.
Masih banyak pak Supratman-pak Supratman lainnya di negeri ini. Mereka tak berdaya memperjuangkan dirinya agar bisa hidup lebih sejahtera. Mereka juga tak bisa memperjuangkan nasibnya agar sama dan sederajat dengan pegawai-pegawai yang dilindungi undang-undang tenaga kerja. Yaa mereka hanyalah segelintir Supratman seorang petugas kebersihan yang berjuang dalam sunyi bukan Joko susilo atau pun Gayus Tambunan.






Selasa, 17 Juli 2012


Waktu ku kecil...

                Masa kecil adalah masa-masa yang paling indah, dimana kita tidak akan pernah disalahkan atas semua tingkah laku yang sudah kita lakukan. Pasti kalau kita melakukan keisengan sedikit saja, orang-orang hanya akan bilang ”dasar,anak kecil!!” atau kalau nggak “maklum masih anak-anak”. Memang menyenangkan menjadi anak kecil, pikiran kita serasa bebas dan lepas tanpa beban tidak ada masalah-masalah yang datang mengahantui. Tidak ada tanggung jawab dan tidak ada tugas-tugas sekolah yang selalu menumpuk, pikiran kita hanya dijejali suatu rasa ingin bermain, bermain dan bermain. Pernah terbesit dipikiran saya, seandainya saja saya nobita dan punya teman seperti Doraemon yang mempunyai mesin lorong waktu. Saya pasti bisa kembali lagi ke 15 tahun yang lalu, masa-masa terindah saya menjadi anak kecil.
                Keisengan yang pernah saya lakukan waktu kecil (saya lupa umur berapa), waktu itu saya pergi ke gereja deket rumah bareng kakak. Pas lagi semua berdoa, saya mendadak kebelet pipis. Namanya masih anak kecil saya tidak tahu harus bagaimana yah saya kemudian pulang aja, abis itu nyampai rumah saya nonton kartun kesayangan saya yaitu power rangers. Sedangkan kakak saya di gereja panik banget, dia bingung nyari-nyari padahal saya sudah nyantai dirumah sambil nonton power rangers dengan muka innocent.
Kemudian pengalaman masa kecil saya yang paling ekstrim adalah ketika saya sedang cari ikan di kali di belakang rumah bareng adik dan kakak. Kami cari ikan sekalian berenang di kali tersebut karena kami rasa kali itu cukup bersih dan menyenangkan buat berenag. Setelah beberapa jam bermain di kali tiba-tiba sandal yang saya pakai lepas terhanyut terbawa arus. Saya dibantu kakak dan adik saya berusaha untuk mengejar sandal tersebut. Tapi ditengah pengejaran yang tak berujung, kaki saya tiba-tiba nginjak serpihan kaca yang ada di dalam kali tersebut. Serpihan kaca yang cukup besar itu nancap masuk 3cm di kaki saya. Darah langsung keluar deras ga berhenti-henti, saya langsung di gendhong kakak saya untuk kembali ke rumah. Saya nangis-nangis pas dicabut serpihan kacanya, sakit banget! Kemudian ibu saya membalut telapak kaki saya dengan kain supaya darahnya berhenti mengalir. Baru malamnya saya dibawa ke rumah sakit untuk suntik tetanus..hahaha...itu cerita ku, gimana cerita mu???

Keluarga ku
 
Saya adalah anak ke 2 dari 3 bersaudara. Ayah saya bernama Ignatius Wijaya Hadi dan ibu saya bernama Fransiska Marti Sasiwi. Saya tumbuh dari keluarga yang sangat sederhana. Kedua orang tua saya bekerja sebagai guru SMA. Semua pekerjaan dilakukan orang tua saya dengan senang hati dan cinta, bahkan tidak pernah sekalipun saya dengar dari mulut mereka tentang mengeluh dalam bekerja, yang saya rasakan hanyalah bagaimana mereka dengan semangat dalam menjalani pekerjaan dan tanpa lelah agar kami anak-anaknya merasa bahagia. Ibu saya yang pekerjaannya sebagai guru swasta, setiap pagi pergi ke sekolah dengan mengendarai motor BMWnya (Bebek Merah Warna nya) itu yang sering aku dengar ketika para murid-murid SMA memberi plesetan itu kepada ibu saya namun tidak ada raut marah dari wajah ibu saya, ia malah tersenyum. Ibu saya pernah memberi sebuah pesan kepada kami, “Jalanilah semua pekerjaan dengan cinta dan ketulusan karena itu lebih berharga dari segalanya, dan pasti Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk kalian” kata-kata itulah yang pernah terlontar dari mulut ibu saya sewaktu saya masih SMP.
Saya mempunyai 2 orang saudara yang juga selalu memberi saya semangat selain kedua orang tua saya. Kakak saya yang pertama bernama Leo Agung Bayu, dia sekarang kuliah di Sanata Dharma semester 7 dan adik saya yang bungsu bernama Agnes, dia baru kelas 3 SMA. Dalam keluarga kami terdapat rasa kebersamaan yang cukup tinggi. Kebersamaan itu terlihat dari doa bersama ketika pagi dan makan bersama ketika malam, walau kadang makanan itu cukup sederhana.
Ketika makanan itu menunya adalah daging atau ikan, dan lauknya itu sedikit ayah saya dan ibu saya membagi ikan itu kepada anak-anaknya dengan adil, mereka bahkan tidak mendapatkan ikan itu karena yang mereka peruntukkan hanyalah kami anak-anaknya. Kadang-kadang mereka hanya makan dengan sayur dan sambal terasi saja. Setelah makan biasanya orang tua kami mengajak kami bicara atau berbincang-bincang atau sedikit bercerita tentang pengalaman mereka, semuanya terjalin dengan akrab dan baik. Ketika semuanya selesai ayah kami biasanya menganjurkan kami untuk belajar, tetapi kalau kami tidak mau belajar ayah saya tidak memaksa kami, asal jangan mengganggu orang lain yang sedang belajar karena disini ayah saya mengajarkan kepada kami bagaimana menghargai kebebasan orang lain dan tidak mengganggu hak milik orang lain itu yang terpenting.
Ketika hari menjelang malam, ayah dan ibu tidak pernah lupa mengingatkan kami untuk berdoa sebelum tidur. Dan menjelang pagi sekitar jam 5 ibu saya sudah bangun untuk menyiapkan sarapan buat kami sebelum kami berangkat sekolah.
Kegiatan seperti ini sudah menjadi kebiasaan dan rutinitas kami sehari-hari. Saya meraasa sangat beruntung lahir dari keluarga yang sederhana dan tidak berkelimpahan harta. Di keluarga kami, rasa cinta ibu dan ayah saya sangat terasa ketika mereka membagikan kehangatan cinta itu kepada kami lewat perhatian mereka dan kasih sayang mereka kepada kami. Pada intinya saya merasa bahagia hidup dengan keluarga sederhana ini dan tidak sedikitpun di dalam benak saya untuk mencari kebahagiaan di luar keluarga. Ayah saya menjadi pedoman dalam hidup saya dan ibu saya yang selalu ada ketika saya mengalami keraguan untuk melangkah.